Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar dan dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di Desa Sokawera, Banyumas, masyarakat mengambil dan menjual batu serta pasir sungai tanpa izin resmi. Secara hukum positif, hal ini melanggar peraturan perundang-undangan dan termasuk pertambangan ilegal. Namun menurut Fiqh Bi’ah, aktivitas tersebut dibolehkan selama tidak merusak lingkungan dan memberi kemaslahatan. Kajian ini menelaah legalitas dan kepemilikan objek jual beli batu dan pasir sungai menurut hukum positif dan hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif dan metode yuridis-empiris. Lokasi dipilih karena tingginya aktivitas pengambilan dan jual beli hasil sungai. Subjek penelitian adalah penjual dan pembeli batu serta pasir, sedangkan objeknya adalah praktik jual beli tersebut. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, dengan teknik purposive sampling. Analisis data dilakukan secara deduktif melalui reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pengambilan dan jual beli batu serta pasir sungai di Desa Sokawera tanpa izin resmi tidak sah menurut hukum positif, karena melanggar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, dan KUH Perdata. Tanpa izin, masyarakat tidak memiliki dasar kepemilikan yuridis, sehingga transaksi tersebut batal demi hukum dan berpotensi terkena sanksi pidana. Namun, menurut hukum Islam, khususnya dalam perspektif Fiqh al-Bī’ah, aktivitas tersebut diperbolehkan selama dilakukan secara bijak, tidak merusak lingkungan, dan bertujuan untuk kemaslahatan. Dengan demikian, terdapat perbedaan pandangan antara hukum positif dan hukum Islam dalam menilai legalitas praktik ini. Kata Kunci: Jual beli, batu pasir, legalitas, hukum positif, Fiqh Bi’ah