Tingginya angka penyalahgunaan narkotika di Indonesia menandakan bahwa penegakan hukum yang belum mampu memberikan efek jera bagi pelaku.Salah satunya yaitu hukuman yang dijatuhkan dalam Putusan Mahkamah Agung nomor register 292/K/Pid.Sus/2025 yang tidak mencerminkan ketentuan minimum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya terhadap terdakwa yang merupakan residivis. Dalam amar putusannya hakim hanya memutus 2 (dua) tahun penjara sedangkan minimum ketentuan adalah 4 (empat) tahun. Jenis penelitian yang digunakan adalah library research atau studi pustaka dan telaah dokomentasi sebagai teknik pengumpulan data. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus ialah ratio decidendi di mana pandangan maupun alasan hakim dalam menjatuhkan. Metode deskriptif kualitatif dan metodologi penelitian kepustakaan adalah teknik yang digunakan untuk menganalisis data dari penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim tidak sepenuhnya mempertimbangkan status residivis terdakwa dan memilih menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dengan hanya 2 tahun penjara. Meskipun terdakwa terbukti melakukan penyalahgunaan narkotika namun penggunaannya sangat sedikit dan tidak dapat dikategorikan sebagai pengedar sesuai dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 terdakwa menggunakan narkotika untuk diri sendiri. Teori pemidanaan yang digunakan pada putusan ini adalah teori pemidanaan gabungan karena menekankan pada keseimbangan antara pembalasan dengan perlindungan masyarakat agar menimbulkan efek jera dan stabilitas hukum tetap terjaga. Kata Kunci: Pertimbangan Hukum Hakim, Penyalahguna Narkotika, Tindak Pidana Narkotika, Putusan Mahkamah Agung, Teori Pemidanaan